QUO VADIS CITRA GURU

Prihatin, miris, perasaan Penulis membaca berita yang muncul di HU Tribun Jabar tanggal 3 Oktober 2014 dan 7 Oktober 2014. Berita tanggal 3 Oktober 2014 berjudul “Empat Guru Berkomplot Jadi Penipu”, lalu berita tanggal 7 Oktober 2014 berjudul “Guru Tepergok di Tempat Peredaran Miras”. Pada berita yang pertama diceritakan tentang empat orang guru yang ditangkap polisi karena terlibat kasus penipuan dan penggelapan mobil rental. Pada berita yang kedua diceritakan tentang seorang guru yang dipergoki polisi berada di tempat peredaran miras. Kebetulan kedua kasus tersebut terjadi wilayah kota dan kabupaten Tasikmalaya.

Kedua kasus di atas sangat mencoreng citra guru. Selain dua kasus di atas, sudah cukup banyak berita di media tentang hal-hal negatif yang melibatkan guru, baik kasus-kasus pidana maupun kasus asusila. Hal ini tentunya perlu bahan renungan sekaligus evaluasi bagi guru dan pemerintah khususnya di lingkungan Kemdikbud dan Dinas Pendidikan. Pertanyaan-pertanyaan yang perlu dijawab antara lain, Ada apa dengan guru? sudah semikian lunturkah citra guru di tengah-tengah masyarakat? Bagaimana proses pendidikan dan rekruitmen calon guru? dan bagaimana pembinaannya?

Kasus-kasus yang melibatkan guru tersebut tentunya harus disikapi secara arif dan bijaksana oleh kalangan guru sendiri atau organisasi profesi guru. Dan tulisan ini tidak bermaksud untuk mempermalukan atau menghakimi korps guru, tetapi untuk mengajak bersama-sama memikirkan solusi untuk memperbaiki citra guru yang tercoreng. Ibaratnya, karena nila setitik rusak susu sebelanga, karena kelakuan segelintir oknum guru, citra profesi guru secara umum menjadi rusak.

Guru adalah profesi mulia dan terhormat. Pribahasa mengatakan bahwa Guru sosok yang digugu dan ditiru, sosok yang harus menjadi teladan. Dengan kata lain, guru adalah role model bagi anak didiknya. Ki Hajar Dewantara, Bapak Pendidikan Nasional berpesan bahwa guru harus memiliki tidak sifat yaitu, Ing Madya Mangun Karso (di depan memberi contoh), Ing Ngarso Sung Tulodo (di tengah memberi semangat), dan Tut Wuri Handayani (di belakang memberi kekuatan).

Di beberapa negara seperti Jepang, Korea, dan Finlandia, tidak sembarang orang bisa menjadi guru. Hanya 10 lulusan terbaik dari Perguruan Tinggi yang bisa diangkat menjadi guru. Mengapa pengangkatan guru di negara-negara tersebut sangat ketat? karena mereka menyadari guru adalah tugas yang sangat berat. Guru bertugas mendidik generasi muda yang kelak akan menjadi calon-calon pemimpin bangsa. Guru harus membimbing stiap peserta didik untuk menjadi manusia yang disamping menguasai ilmu pengetahuan, juga terampil, dan memiliki kesiapan untuk bersaing di tengah ketatnya persaingan globalisasi. Masa depan negara sebuah negara berada pada dunia pendidikan dimana guru menjadi ujung tombaknya. Seorang guru harus benar-benar kompeten dan profesional, dan tentunya memiliki karakter yang baik.

Kecerdasan Kepribadian Guru

Undang-undang Guru dan Dosen sudah mengatur bahwa guru harus memiliki empat jenis kompetensi, yaitu (1) kompetensi pedagogik, (2) kompetensi profesional, (3) kompetensi kepribadian, dan (4) kompetensi sosial. Khusus berkaitan dengan muncul-munculnya kasus-kasus baik kasus pidana maupun asusila yang melibatkan guru, Penulis berpendapat bahwa hal tersebut diakibatkan oleh rendahnya kompetensi kepribadian guru. Hal ini tentunya perlu menjadi PR bagi satuan pendidikan, organisasi profesi guru, dan pemerintah untuk melakukan pembinaan kepada guru. Dan utamanya gurunya sendiri yang harus memiliki inisiatif meningkatkan kompetensi kepribadiannya.

Intinya, seorang guru harus menjaga perkataan, sikap, dan perbuatannya karena guru adalah figur yang banyak diperhatikan baik oleh peserta didik maupun oleh masyarakat. Kalau orang biasa melakukan perilaku tercela, masyarakat mungkin masih bisa menoleransinya, tetapi kalau guru yang terlibat, pasti akan disorot habis-habisan. Walaupun demikian, guru tetaplah manusia biasa yang dapat saja berbuat salah. Oleh karena itu, terlalu berlebihan juga mengharapkan guru tampil tanpa cacat seperti malaikat. Yang bisa dilakukan adalah meminimalisasi potensi-potensi kesalahan tersebut jangan sampai terjadi dengan cara meningkatkan kompetensi kepribadiannya.

Pasal 3 ayat (5) PP Nomor 74 tentang Guru menetapkan bahwa cakupan dari kompetensi kepribadian seorang guru antara lain; (a) beriman dan bertaqwa, (b) berakhlak mulia, (c) arif dan bijaksana, (d) demokratis, (e) mantap, (f) berwibawa, (g) stabil, (h) dewasa, (i) jujur (j) sportif, (k) menjadi teladan bagi masyarakat, (l) secara objektif mengevaluasi kinerja sendiri, dan (m) mengembangkan diri secara mandiri dan berkelanjutan. Oleh karena itu, seorang guru harus mampu menampilkan karakter-karakter tersebut dalam dirinya.

Penegakkan Kode Etik Guru

Sebuah profesi termasuk guru tentunya memiliki kode etik profesi. Kode etik profesi guru dibuat oleh organisasi profesi yang menaunginya, seperti Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) atau organisasi profesi guru lainnya. Tetapi sayangnya, sampai dengan saat ini belum satu organisasi profesi guru yang khusus memiliki wewenang menegakkan kode etik profesi guru atau bahkan menentukan kelayakan seorang calon guru.

Di Indonesia, rekruitmen calon guru dilakukan oleh pemerintah atau oleh masyarakat (yayasan), tidak melibatkan atau meminta rekomendasi organisasi profesi guru. Ke depan, perlu dipikirkan organisasi guru hanya ada satu dan diberikan wewenang untuk menetapkan standar kelayakan calon guru sekaligus memberikan rekomendasi kepada pemerintah atau pihak yang membutuhkan,  menegakkan kode etik guru dalam rangka menjaga harkat dan martabat guru.  Dan kalau sudah menyangkut unsur pidana, diserahkan prosesnya kepada aparat hukum.

Ketika ada guru yang disangka melakukan pelanggaran kode etik, maka Dewan Kehormatan atau Komite Etik dari organisasi profesi guru itulah yang akan memprosesnya sampai menjatuhkan sanksi jika terbukti bersalah. Yang terjadi saat ini adalah, kode etik guru masih hanya dijadikan “hiasan dinding” tanpa ada mekanisme penegakkan yang jelas. Belum pernah ada organisasi profesi guru yang mencabut izin mengajar atau sertifikat profesi guru yang melanggar kode etik profesi. Hal ini disebabkan karena aturannya belum ada.

Sebagai perbandingan, di lingkungan kedokteran, ada Ikatan Dokter Indonesia (IDI) sebagai organisasi profesi dokter yang bertugas menegakkan kode etik dokter. Jika ada yang melanggar, IDI berwewenang untuk memberikan sanksi, bahkan sanksinya bisa menghentikan izin praktek dokter yang terbukti melanggar kode etik.

Menurut Penulis, rekruitmen calon guru yang selektif, pembinaan yang berkelanjutan, dan penegakkan kode etik guru untuk meminimalisasi munculnya kasus-kasus yang mencoreng citra guru. Dan guru pun perlu menjaga harkat dan martabatnya karena di tangan guru itu sendiri harkat dan martabatnya dipertaruhkan.

Leave a comment